Kamis, 22 September 2011

Koran ID, Edisi Rabu (21/9/2011)

TRANSPORTASI UDARA

SIUP Riau Airlines Sulit Diperpanjang

JAKARTA -- Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Herry Bakti Singayuda Gumay mengatakan, pihaknya sulit memperpanjang Surat Izin Usaha Penerbangan (SIUP) untuk penerbangan carter milik maskapai Riau Airlines (RAL) yang habis masa berlakunya pada 21 September 2011.

Pasalnya, menurut Herry Bakti di Jakarta, Selasa (20/9), maskapai milik Pemerintah Provinsi Riau tersebut hingga kini sudah tidak beroperasi lagi.

“Sepertinya sulit untuk diperpanjang karena hingga saat ini penerbangan carter tidak juga dilakukan oleh maskapai itu. Sesuai aturan bila setahun tidak beroperasi maka SIUP akan otomatis tidak berlaku. Kalau mau mengajukan lagi berarti harus dari awal dengan mengajukan rencana bisnis (bussiness plan) baru,” ujar Herry.(ari)
Koran ID, Edisi Rabu (21/9/2011)

TRANSPORTASI UDARA
SIUP Pacific Royale dan Citilink Masih Diproses

JAKARTA-Kementerian Perhubungan (Kemenhub) masih memproses Surat Izin Usaha Penerbangan (SIUP) bagi maskapai penerbangan Pacific Royale Airways dan Citilink Indonesia.

Kapuskom Publik Kemenhub Bambang Supriyadie Ervan mengatakan, jika Pacific Royale Airways telah mengajukan rencana bisnis (bussiness plan) dan evaluasinya sudah tuntas dan kini tinggal menunggu kelengkapan administrasi, maka untuk Citilink baru dalam proses evaluasi rencana bisnis.

"Keduanya masih diproses. Kalau kelengkapan terpenuhi bisa cepat," kata dia, di Jakarta, Selasa.

Bambang juga mengatakan, dua maskapai baru segera mendapatkan SIUP, namun nama maskapai tersebut belum bisa dipublikasikan. Kedua maskapai tersebut telah lolos evaluasi di Kemenhub, kini tinggal menunggu penyelesaian administrasi saja.

Menurut dia, meskipun telah lolos evaluasi dan akan mendapatkan SIUP, maskapai tersebut harus melaksanakan UU No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan terutama dalam hal kepemilikan pesawat. Dalam UU tersebut mewajibkan maskapai berjadwal mengoperasikan minimal 10 unit pesawat dan minimal lima unit di antaranya adalah pesawat dengan status hak milik.

"Yang dievaluasi adalah rencana bisnis jadi maskapai itu saat ini boleh belum memiliki pesawat, tetapi saat beroperasi harus memenuhi syarat tersebut," ujar dia.

Data Kemenhub, total maskapai berjadwal (penumpang dan kargo) kini sebanyak 20 maskapai sedangkan maskapai tidak berjadwal sebanyak 33 maskapai. (ari)
Koran ID, Edisi Rabu (21/9/2011)

Penataan Pelabuhan Tanjung Priok Harus Dipercepat

JAKARTA-Pelaku usaha meminta program penataan dan perluasan areal penumpukan petikemas di Pelabuhan Tanjung Priok dipercepat. Kongesti di pelabuhan paling sibuk di Indonesia itu sebenarnya bukan karena kurangnya terminal atau dermaga tapi akibat rendahnya kapasitas penumpukan.

Ketua Umum Dewan Pemakai Jasa Angkutan Laut Indonesia (Depalindo) yang juga Ketua Komite Tetap Bidang Ekspor-impor Kadin Indonesia Toto Dirgantoro mengatakan, saat ini yang terpenting bagi pengelola pelabuhan adalah melanjutkan program penataan dan perluasan areal penumpukan ketimbang meributkan pembangunan Pelabuhan Kalibaru.

Toto mengatakan, program penataan lahan pelabuhan Priok yang dimulai sejak 2008 berjalan lamban karena sejumlah fasilitas lahan yang seharusnya untuk penumpukan petikemas saat ini belum dimanfaatkan secara optimal. Luasnya areal penumpukan bukan hanya memperlancar kegiatan keluar masuk barang tapi juga aktivitas bongkar-muat barang ke kapal.

"Lapangan penumpukan yang terbatas berpengaruh langsung terhadap sandar kapal, serta memicu biaya tinggi. Karena semakin lama kapal di pelabuhan akan semakin tinggi biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan pelayaran. Penataan lapangan penumpukan Priok sudah menjadi program mendesak," ujar Toto, di Jakarta, Selasa (20/9).

Depalindo juga mengusulkan perluasan wilayah pabean Tanjung Priok hingga ke Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Marunda untuk menghindari terjadinya kepadatan penumpukan petikemas di lini 1 pelabuhan. PT Pelindo II maupun pengelola terminal petikemas harus menambah lokasi lapangan penumpukan dengan melakukan ekspansi besar-besaran. Salah satu lokasi yang masih memungkinkan saat ini ada di kawasan Marunda dengan areal sekitar 90 hektare (ha).

Menurut Toto, lokasi lapangan di Marunda itu bisa dijadikan sebagai kepanjangan tangan terminal lini 1 Pelabuhan Tanjung Priok, sehingga biaya relokasi petikemas tidak dibebankan kepada pemilik barang. Secara resmi, Depalindo sudah menyampaikan usulan perluasan wilayah pabean Pelabuhan Priok hingga ke Marunda itu kepada Sekretaris Kabinet.

Toto menambahkan, penataan lainnya yang mesti dilakukan di Pelabuhan Priok adalah menyatukan operasional Jakarta International Container Terminal (JICT) dan TPK Koja, supaya pelabuhan Tanjung Priok mampu berperan sebagai pelabuhan pengumpul (Hub). Hingga kini, Pelabuhan Priok masih berperan sebagai pelabuhan pengumpan (feeder) menyusul minimnya kapal ukuran besar (mother vessel) yang bersedia memanfaatkan fasilitas pelabuhan tersebut. (ari)
Koran ID, Edisi Rabu (21/9/2011)

SWASTANISASI BANDARA LAMPUNG
Bakrie Akan Garap Bisnis Bandara

JAKARTA—Grup Bakrie dikabarkan akan merambah bisnis pengelolaan bandara di Tanah Air menyusul minat kelompok usaha ini mengelola dan mengembangkan Bandara Raden Inten II di Bandar Lampung, Provinsi Lampung. Bandara ini sekarang dikelola Unit Pelaksana Teknis (UPT) dibawah Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan.

Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Herry Bakti Singayuda Gumay membenarkan tentang rencana kelompok usaha Bakrie itu. Namun, hingga kini Grup Bakrie belum melapor resmi kepada Kemenhub. Pembicaraan sejauh ini masih dibahas di level pemerintah daerah (pemda).

"Pembicaraan baru informal. Mereka (Grup Bakrie) sih sudah berbicara dengan Gubernur Lampung. Peluang investor swasta memang terbuka dalam pengelolaan bandara pasca terbitnya UU No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan," kata Herry, di Jakarta, Selasa (20/9).

Herry Bakti mengatakan, Pemerintah Pusat memang akan menjadikan Bandara Raden Inten II di Bandar Lampung sebagai proyek percontohan swastanisasi bandara UPT. Melalui program swastanisasi, berarti Bandara Raden Inten II akan digarap menjadi bandara komersial oleh pihak ketiga, seperti selama ini dilakukan BUMN bandara, PT Angkasa Pura (AP) I dan AP II.

Menurut Herry Bakti, sebenarnya penyerahan pengelolaan Bandara Raden Inten II dari UPT di bawah Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub kepada pihak ketiga masih wacana. Pasalnya, hingga kini Kemenhub belum memiliki mekanisme yang pas untuk menjalankan proses tersebut.

“Memang ada rencana seperti itu, tapi masih wacana. Kami masih melihat mekanismenya seperti apa, apakah dijadikan proyek public private partnership (PPP) yang harus tender atau pola lain, kami belum tahu,” ujar Herry.

Kepala UPT Bandara Raden Inten II Djoko Priambodo menyebutkan, sudah terdapat dua investor yang siap mengembangkan bandara itu, yakni PT Angkasa Pura II dan Grup Bakrie. Keinginan kedua pihak itu wajar karena hasil survei dan analisis proyeksi pertumbuhan penumpang udara dari dan ke Lampung akan meningkat pesat dalam lima tahun ke depan. Di sisi lain, Bakrie memiliki keterkaitan historis dengan daerah Lampung.

“Grup Bakrie kami dengar memang berminat menanamkan modalnya untuk pengembangan Bandara Raden Inten II selain PT Angkasa Pura II. Siapa yang dipilih pemerintah, kami tunggu saja atau malah nanti tetap dikelola UPT di bawah Ditjen Perhubungan Udara,” ujar Djoko.

Bandara Raden Inten II memiliki panjang landas pacu (runway) 2.500 meter dengan lebar 30 meter yang akan diperlebar menjadi 45 meter. Pelebaran akan meningkatkan tingkat keselamatan penerbangan dan kenyamanan ketika pesawat mendarat. Ke depan, runway akan diperpanjang menjadi 3.000 meter sehingga bisa didarati pesawat berbadan lebar jenis Boeing 747 dan Airbus 330.

Sejumlah maskapai yang melayani penerbangan dari dan ke Bandara Raden Inten II, adalah Merpati Nusantara Airlines, Sky Aviation, Lion Air, Batavia Air, Sriwijaya Airlines, dan Garuda Indonesia.

Hingga tadi malam, Investor Daily belum dapat konfirmasi dari Sekretaris Perusahaan dan Direktur PT Bakrie&Brothers Tbk, Sri Darmayanti, terkait dengan rencana Bakrie memasuki bisnis bandara. Bakrie&Brothers yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) adalah induk usaha Grup Bakrie.

Lebih Baik Lagi

Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono kepada Investor Daily pernah mengatakan, sejumlah bandara UPT potensial yang bisa ditawarkan untuk dikelola swasta, antara lain bandara di Lampung, Bandara Komodo di Labuhan Bajo, Manggarai Barat, NTT, dan sejumlah bandara di Sulawesi Tenggara.

“Bandara-bandara UPT itu diharapkan kedepan akan menjadi lebih baik dibawah kelolaan swasta, sementara pemerintah dapat mengalihkan dana alokasi bandara UPT untuk keperluan lain yang lebih penting,” ujar Bambang.

Menurut Wamenhub, karena keterbatasan anggaran pemerintah, pembangunan bandara baru dan pengembangan atau peningkatan kapasitas bandara eksisting, akan melibatkan BUMN kebandarudaraan (AP I dan AP II) serta investor swasta melalui skema PPP.

Pemerintah hingga 2014 akan membangun 14 bandara baru dan merehabilitasi 116 bandara, sebagai bentuk komitmen dalam
mengatasi sumbatan (debottlenecking) penyediaan infrastruktur dan meningkatkan koneksitas antarwilayah di enam koridor ekonomi.

Kketerlibatan BUMN kebandarudaraan (AP I dan II) dinilai mutlak guna mendukung program konektivitas koridor ekonomi dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Berdasarkan data Kementerian Perhubungan, total kebutuhan dana pembangunan bandara mencapai Rp 62 triliun, sedangkan kemampuan anggaran pemerintah hanya Rp 19,5 triliun. Sisanya diharapkan berasal dari swasta dan BUMN.ari/wy)
Koran ID, Edisi Kamis (22/9/2011)

Merpati Hanya Kantungi 30% Subsidi Perintis

JAKARTA -- PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) hanya memperoleh 25-30% atau sekitar Rp 70-80 miliar dari total subsidi penerbangan perintis tahun 2011 sekitar Rp 300 miliar untuk 132 rute penerbangan. Penerbangan rute perintis tahun ini telah ditender pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sejak Januari 2011.

Direktur Niaga MNA Tonny Aulia Achmad mengatakan, MNA tetap akan mengikuti proses tender penerbangan rute perintis, meski pihaknya sebenarnya kurang sepakat dengan mekanisme tender dalam pelayanan rute perintis. Untuk tahun depan, MNA menargetkan bisa mengantungi subsidi penerbangan perintis dengan besaran tidak berbeda dengan tahun ini.

“Untuk pelayanan perintis tahun ini, kami sudah mendapatkan alokasi Rp 70-80 miliar. Kami pakai pesawat Cassa dan Twin Otter untuk melayani penerbangan perintis. Untuk tahun depan yang tendernya segera digelar, target kami tidak jauh berbeda,” kata Tonny, di Jakarta, Rabu (21/9).

Pemerintah telah menetapkan tarif penerbangan perintis untuk tahun ini di 132 rute di seluruh wilayah Indonesia melalui Permenhub No PM 73 Tahun 2011 tentang Tarif Angkutan Udara Perintis yang berlaku mulai 12 Juli 2011. Total subsidi penerbangan perintis yang dikucurkan pemerintah untuk 132 rute tersebut mencapai hampir Rp 300 miliar.

Presiden Direktur Susi Air Susi Pudjiastuti mengatakan, Susi Air tahun ini hanya menerima subsidi penerbangan perintis dari pemerintah sebesar Rp 4 miliar. Itu untuk rute penerbangan di Kalimantan Timur. Minimnya perolehan dana subsisi, karena terbatasnya jumlah pesawat Susi Air yang bisa mendarat di bandara kecil, dengan panjang landasan 200-300 meter.

“Dengan penambahan armada, kami berharap tahun depan dapat mengantongi 50% dari dana subsidi untuk penerbangan perintis yang sudah disiapkan oleh pemerintah,” kata Susi.

Tonny secara lebih jauh smengatakan, pihaknya sebelumnya sudah meminta pengoperasian layanan penerbangan di rute perintis tak perlu ditender. Pemerintah harus menyerahkan seluruh layanan penerbangan perintis kepada MNA dengan cukup memberikan dana pelayanan publik (public service obligation/PSO) kepada BUMN penerbangan tersebut.

Tonny Aulia Achmad mengungkapkan, dengan dibukanya layanan penerbangan perintis bagi operator swasta melalui mekanisme tender telah berkontribusi menggerus kinerja MNA. Seharusnya, pemerintah memberi keberpihakan kepada MNA sebagai operator BUMN untuk tidak melakukan tender rute perintis.

"BUMN kan punya misi sosial, jadi harusnya seluruh penerbangan perintis kami yang layani, jangan ditender. Cukup kucurkan PSO, ini terjadi juga pada PT Pelni, PT ASDP, dan Perum Damri. Kami ingin dikembalikan seperti dulu, tapi ini bukan monopoli ya," kata dia.

Menurut Tonny, dengan proses tender, PT MNA kerap kalah karena tidak adanya perlakuan sama (equal treatment) dengan operator swasta. PT MNA mengoperasikan pesawat yang dibiayai utang, sementara itu besaran subsidi tarif yang diberikan pemerintah kerapkali tak menutup biaya operasi karena sepinya penumpang di rute itu.

"Kalau kalah akhirnya kami terpaksa harus bekerjasama dengan pemerintah daerah agar pesawat beroperasi dan kami bisa bayar utang. Ini yang beda, PT Pelni, PT ASDP, dan Perum Damri dapat bantuan armada dan dapat PSO," ungkap dia.

Tetap Ditender

Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub Herry Bakti Singayuda Gumay menyatakan, operasional layanan penerbangan perintis harus tetap melalui proses tender. Pasalnya, subsidi rute perintis menggunakan anggaran dari Dana Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub yang dialokasikan Kementerian Keuangan setiap tahun.

“Dana subsidi untuk perintis itu kan dari DIPA, jadi harus tender. Kalau MNA minta begitu ya boleh-boleh saja. Dulu, kami tawari untuk menggarap semua, MNA bilang tak sanggup," ungkap dia.

Menurut Herry, yang disebut penerbangan perintis adalah ketika maskapai menjadi pionir dengan membuka rute penerbangan baru yang belum diterbangi maskapai lain dan biasanya berada di wilayah terpencil (remote). Subsidi untuk penerbangan perintis diberikan pemerintah dalam bentuk subsidi avtur secara fisik dengan tarif ditentukan pemerintah.

"Jadi banyak daerah yang ingin ada rute perintis, itu tak bisa semua kami penuhi karena anggaran terbatas. Di sisi lain, maskapai yang ingin melayani perintis juga banyak, selain PT MNA itu ada Susi Air, SMAC, Trigana Air Services, juga Nusantara Buana Abadi," kata Herry.

Pada 2011, dana untuk subsidi poenerbangan perintis mencapai Rp 300 miliar dengan 132 rute. Sedangkan pada 2010 mencapai Rp 200 miliar dengan 112 rute perintis. Mayoritas rute perintis itu dilayani oleh PT MNA dan sisanya oleh maskapai swasta nasional. (ari)
Koran ID, Edisi Kamis (22/9/2011)

Moda Transportasi KA Butuh Keberpihakan

Oleh Tri Listiyarini

JAKARTA -- Moda transportasi kereta api (KA) membutuhkan keberpihakan lebih agar menjadi solusi andalan selama masa angkutan Lebaran. Keberpihakan tidak hanya dari sisi anggaran dengan menambah sarana dan prasarana, namun juga dari sisi regulasi.

Demikian benang merah diskusi Evaluasi Angkutan Lebaran 2011 yang diselenggarakan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI). Hadir sebagai pembicara Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono, Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Tundjung Inderawan, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio, dan Ketua Umum MTI Danang Parikesit.

Tundjung Inderawan mengungkapkan, pada masa Lebaran 2011 terjadi penurunan sarana dibanding Lebaran 2010, yakni penurunan sarana lokomotif hingga 10% dan penurunan sarana KA hingga 2%. Penurunan sarana KA sebelumnya justru diprediksi turun sampai 4%, namun dengan kerja keras PT KA dan penambahan sarana KA hanya turun 2%. Jika semula rangkaian KA tambahan yang dioperasikan pada Lebaran 2011 diperkirakan hanya 11 namun realisasi menjadi 28 rangkaian.

"Kalau moda KA memang didorong jadi solusi angkutan Lebaran, maka butuh keberpihakan lebih. Tak hanya politik anggaran untuk menambah sarana KA karena pada Lebaran 2011 ada penurunan jumlah sarana KA, tapi juga politik regulasi. Tahun 2011 memang anggaran 2011 untuk KA naik sampai Rp 8 triliun, tapi kebutuhan lebih dari itu," kata Tundjung.

Tundjung menuturkan, setiap tahunnya untuk Lebaran rata-rata dioperasikan 198 rangkaian KA. Padahal, idealnya harus 250 rangkaian KA dengan 40 lokomotif. Untuk kebutuhan sarana sendiri, Ditjen Perkeretaapian komitmen untuk terus menambah jumlahnya. Misalnya, pada 2012 akan ditambah lima rangkaian KA ekonomi AC.

Menurut Tundjung, penambahan sarana KA harus dibarengi penambahan prasarana KA. Untuk memenuhi upaya itu, Kemenhub menargetkan pada 2012-2013 jalur rel ganda (double track) utara Jawa dari Jakarta-Semarang-Surabaya sudah bisa terealisasi. Untuk 2012, Kemenhub mengalokasikan lebih dari Rp 2,3 triliun untuk menyelesaikan proyek jalur ganda tersebut.

Tundjung menambahkan, penurunan sarana KA pada masa angkutan Lebaran telah berkontribusi atas turunnya jumlah penumpang KA pada masa Lebaran hingga 21,18%. Namun demikian, penurunan penumpang juga terjadi karena tingginya tarif KA yang mengakibatkan penumpang KA memilih pesawat udara, juga karena pengetatan toleransi muatan KA.

"Dari tahun ke tahun, penumpang KA Lebaran memang terus turun. Pada 2008 misalnya, penumpang KA ekonomi 1,59 juta, pada 2009 naik 1,64 juta, pada 2010 naik lagi jadi 1,68 juta, dan tahun ini hanya 1,29 juta. Untuk eksekutif malah parah pada 2008 sempat 309,9 ribu, kini hanya 264,8 ribu. Ini harus dipikirkan semua pihak," kata dia.

Danang Parikesit mengatakan, kondisi perkeretapian nasional dalam mendukung angkutan Lebaran memang cukup memprihatinkan. Padahal, seharusnya moda KA bisa menjadi solusi paling ideal untuk mengangkut masyarakat secara massal. Di sisi lain, harusnya pemerintah sendiri menyiapkan angkutan KA Lebaran sejak enam bulan sebelum Lebaran.

"Dengan persiapan lebih lama, maka masyarakat bisa merespon lebih baik. Operator juga bisa melakukan pembenahan sarana, ini tak hanya kepada moda KA tapi juga moda lainnya, baik laut, darat, maupun udara," papar Danang.

Aturan Khusus
Wamenhub Bambang Susantono mengatakan, masalah kecepatan pembangunan infrastruktur dan pembenahan aturan atau regulasi yang bisa memperlancar pembangunan infrastruktur tidak hanya terjadi di sektor KA, namun juga pembangunan infrastruktur lain di bawah kewenangan Kemenhub, seperti bandara dan pelabuhan.

"Kemenhub memang baru memulai, karena selama ini lebih berkonsentrasi pada pemberian perizinan atau sebatas fasilitator. Itu berbeda dengan Kementerian Pekerjaan Umum yang sudah memiliki pola atau semacam standar. Tapi bukan berarti Kemenhub tidak berupaya, kami terus berupaya bagaimana moda KA bisa jadi andalan," ujar Bambang.

Bambang menuturkan, untuk saat ini, dalam upaya untuk mempercepat proyek-proyek infrastruktur, termasuk di sektor KA, memang dibutuhkan aturan atau regulasi khusus. Misalnya, regulasi khusus yang bisa mengatasi proses tender yang bertele-tele. Namun, hal itu perlu pemilahan dan pemilihan secara cepat. Artinya, hanya berlaku untuk proyek-proyek yang mendesak sehingga butuh pengecualian.

Menurut Bambang, percepatan diperlukan karena saat ini kondisi perekonomian global sedang tidak menentu. Bahkan, kolapsnya banyak negara Eropa dikhawatirkan berdampak ke Indonesia, seperti era 1997-1998. “Untuk itu, penguatan dari dalam harus segera dilakukan. Upaya pemerintah di antaranya dengan program MP3EI diharapkan swasta nasional terlibat secara lebih dalam, ditargetkan tiap bulan ada ground breaking dari MP3EI," ujar dia.

Agus Pambagio dalam kesempatan itu meminta Kemenhub agar tidak harus menunggu seluruh anggaran terpenuhi baru mulai membangun prasarana atau menambah sarana. Misalnya, pembangunan jalur KA ganda, Kemenhub dengan dana yang minim tetap harus mulai pembangunan fisik di lapangan. Dengan begitu, setiap tahun ada realisasi pembangunan fisik dari prasarana KA.