Jumat, 28 Januari 2011

Krisis Pelaut Terus Berlanjut

JAKARTA -- Krisis pelaut di Tanah Air masih akan berlanjut. Pasalnya, kemampuan suplai pelaut dari sekolah pelayaran di Tanah Air belum sebanding dengan kebutuhan pelaut secara nasional.


Dalam lima tahun ke depan (2011-2015), kebutuhan pelaut nasional mencapai 43.806 orang atau sekitar 8.600 orang per tahun, yakni 18.774 pelaut kelas perwira dan 25.032 pelaut kelas dasar. Namun, suplai pelaut dari sekolah pelayaran yang ada di Tanah Air baru mencapai 3.000 orang per tahun, itu pun dengan asumsi sejumlah sekolah pelayaran baru bisa berproduksi pada 2012.


Kepala Badan Pengembangan SDM Perhubungan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Bobby Mamahit mengatakan, dengan diimplementasikannya UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan juga Inpres No 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional, jumlah kapal niaga di Tanah Air terus bertambah karena harus melaksanakan asas cabotage. Dengan bertambahnya jumlah kapal, jumlah pelaut yang dibutuhkan juga meningkat karena kapal merah putih juga wajib menggunakan awak dalam negeri.


“Produksi pelaut nasional kini hanya 700-1.000 orang per tahun. Kami targetkan pada 2012 bisa menjadi 3.000 per tahun, baik dengan pengoperasian sekolah pelayaran baru maupun program percepatan (crash program) produksi pelaut dengan mempercepat waktu pendidikan menjadi 2,5 tahun,” ungkap Bobby, di Jakarta, Selasa (25/1).


Bobby mengakui, krisis pelaut di Tanah Air tak sepenuhnya dikarenakan keterbatasan kemampuan suplai dari sekolah pelayaran yang ada, namun juga karena hampir 75% dari produksi pelaut nasional per tahun selalu dibajak perusahaan pelayaran asing yang beroperasi di dalam maupun luar negeri. Ini terjadi karena gaji pelaut di luar negeri jauh lebih tinggi dibanding di dalam negeri.


”Standar gaji yang berbeda membuat pelaut nasional lebih memilih bekerja di pelayaran asing, terutama yang di luar negeri, bedanya paling sedikit 3-4 kali lipat. Jika di dalam negeri, gaji pelaut dasar bisa hanya Rp 500 ribu, maka di luar negeri bisa US$ 500-600 atau sekitar Rp 5 juta. Itu makanya akan dikaji restandarisasi gaji pelaut di dalam negeri agar kebutuhan pelaut terpenuhi,” ungkap dia.


Karena itu, lanjut Bobby, pihaknya mengalokasikan belanja modal Rp 1,7 triliun dari total DIPA Badan Pengembangan SDM Kemenhub Rp 2,7 triliun untuk membangun sekolah-sekolah transportasi, termasuk pelayaran. Khusus untuk pelayaran, akan dikaji pembangunan sekolah pelayaran di Sorong, (studi telah tuntas), juga Aceh, Sumatera Barat, Riau, Kalimantan, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Barat, yang akan dilakukan studi desain pada tahun ini.


Direktur Perkapalan dan Kepelautan Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub Arifin Sunaryo mengakui, restandardisasi gaji pelaut nasional akan menjadi opsi terakhir, mengingat upaya itu sangat tergantung dari kemampuan perusahaan pelayaran nasional. Upaya tercepat adalah memperbanyak jumlah pelaut.


”Caranya dengan menggalakkan crash program di semua sekolah pelayaran di bawah Kemenhub maupun swasta yang berjumlah 16 sekolah di seluruh Indonesia. Lulusan sarjana cukup sekolah hanya 2,5 tahun dari sekolah pelaut yang umumnya butuh lima tahun,” ungkap dia.


Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pelayaran Nasional (Indonesian National Shipowners Association/INSA) Johnson W Sutjipto telah mengusulkan sejumlah solusi untuk mengatasi kekurangan pelaut di Indonesia kepada Kemenhub. Salah satunya didirikan akademi kepelautan untuk perwira dengan standar internasional.


"Salah satu hambatan yang dihadapi adalah ketersediaan kapal untuk praktik kerja pelaut, sehingga perlu dipertimbangkan untuk penyediaan kapal latih pada tiap-tiap akademi pelayaran," kata dia.


Defisit Pilot

Bobby Mamahit mengatakan, krisis SDM transportasi tidak hanya terjadi di sektor perhubunga laut, namun juga di sektor perhubungan udara. Hanya saja, di sektor perhubungan udara telah diputuskan untuk pemberian toleransi bagi maskapai penerbangan nasional untuk menggunakan pilot atau penerbang asing.


Namun, Bobby menegaskan, kekurangan pilot belum sampai mengkhawatirkan. Maka itu, regulator penerbangan masih mentoleransi penggunakan pilot asing. ”Kendati begitu kami tetap akan naikkan produksi pilot dari sekolah penerbangan di bawah Badan Pengembangan SDM Perhubungan, yakni STPI Curug, menjadi 200 pilot per tahun. Target itu kami naikkan menjadi 300 pilot per tahun,” ungkap dia.


Pada 2011-2015, sektor penerbangan membutuhkan 7.500 teknisi pesawat udara, 4.000 penerbang/pilot, dan 1.000 tenaga pengelola lalu lintas udara (Air Traffic Control/ATC). Sementara itu, pada 2020, dunia akan kekurangan tenaga penerbang hingga 42 ribu orang dan teknisi pesawa udara sebanyak 40 ribu orang, khusus perwira pelaut pada 2012 dunia akan mengalami defisit 83.900 orang.(ari)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar