Kamis, 20 Januari 2011

Industri MRO RI Tertinggi di Asia

Oleh Tri Listiyarini


JAKARTA - Industri perawatan pesawat (maintenance, repair, and overhaul/MRO) di Indonesia diperkirakan tumbuh paling tinggi dibandingkan negara lain di kawasan Asia dalam empat atau lima tahun ke depan. Indonesia dapat menikmati pertumbuhan 15%, jauh diatas India yang hanya akan tumbuh 8% per tahun.

Ketua Umum Asosiasi Bengkel Perawatan Pesawat Indonesia (Indonesian Aircraft Maintenance Shop Association/IAMSA) Richard Budihadianto mengungkapkan, secara global, bisnis MRO mulai bergairah pada tahun ini. Itu terjadi menyusul pulihnya bisnis penerbangan pasca krisis finansial yang sempat mendera di berbagai belahan dunia.

"Krisis finansial berlalu, industri penerbangan pulih, dampaknya belanja pesawat meningkat yang secara otomatis mendongkrak bisnis MRO," kata Richard kepada Investor Daily, di Jakarta, Rabu (5/1).

Richard menuturkan, untuk saat ini, bisnis MRO masih dikuasai Amerika, terutama Amerika Utara, Eropa, dan Asia, terutama Asia Pasifik. Untuk Asia, negara-negara seperti India, Tiongkok, dan Timur Tengah, masih bercokol sebagai pemain besar. Kendati dari sisi pangsa pasar mereka menguasai, namun pertumbuhan di Indonesia jauh lebih tinggi.

"Pertumbuhan bisnis MRO di Indonesia paling tinggi ke depan, bisa 15% per tahun. Pasalnyaa, industri penerbangan di Tanah Air sedang tumbuh-tumbuhnya, penambahan armada begitu banyak dan semuanya butuh perawatan," ungkap dia.

Richard mencatat, nilai kapitalisasi bisnis MRO di kawasan Asia Pasifik pada 2009 mencapai US$ 6,8 miliar. Dari angka itu, Indonesia baru bisa menguasai US$ 750 juta. Jika ada pertumbuhan 15% per tahun, bisa jadi pada empat atau lima tahun ke depan penguasaan Indonesia bisa US$ 2 miliar.

"Tapi untuk mencapai target itu butuh tambahan kapasitas perawatan. Kalau bisa peran swasta dalam bisnis ini ditingkatkan. Sehingga pesawat-pesawat milik maskapai nasional bisa sepenuhnya di rawat di dalam negeri, dan maskapai asing juga bisa merawat pesawatnya di sini," kata dia.

Menurut Richard, saat ini, kapitalisasi bisnis perawatan pesawat di Tanah Air sekitar 70% masih dikuasai perusahaan perawatan pesawat BUMN, yakni PT GMF AeroAsia, Merpati Maintenance Facility milik Merpati Nusantara Airlines, Nusantara Turbine, Aircraft Services milik PT Dirgantara Indonesia, dan Indo Pelita milik maskapai Pelita Air Services.

"Swasta harus bisa membidik potensi bisnis yang demikian besar. Terakhir Lion Air juga masuk bisnis ini, akan lebih baik kalau Lion mengembangkannya jadi unit bisnis sendiri dan bisa merawat pesawat maskapai lain dalam jumlah banyak," kata dia.

Richard menjelaskan, untuk masuk ke bisnis MRO memang tidak mudah karena butuh dana besar. Untuk bisa membuat bengkel perawatan pesawat sekaliber PT GMF AeroAsia misalnya sedikitnya butuh US$ 200 juta. Dana yang diperlukan besar karena bisnis ini cenderung spesifik, misalnya butuh sumber daya manusia (SDM) berkeahlian khusus.

Ekspansi Bisnis
Dihubungi terpisah, Direktur Umum Lion Air Edward Sirait mengungkapkan, pihaknya memang telah memulai bisnis MRO pada 2010 dengan membuka bengkel perawatan pesawat di Bandara Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara. Investasi yang dikeluarkan mencapai US$ 40 juta.

"Tapi kapasitas tampungnya terbatas, baru dua pesawat saja. Investasinya memang besar, jadi kami belum mampu untuk ikut memanfaatkan potensi bisnis itu, setidaknya untuk beberapa tahun ke depan. Saat ini saja, kami masih melakukan MRO di PT GMF AeroAsia, karena bengkel kami terbatas," ungkap dia.

Edward menjelaskan, pihaknya untuk jangka panjang memang ingin menjadikan unit bisnis tersendiri dari bisnis perawatan pesawat tersebut. Selain merawat semua pesawat yang dioperasikan Lion Air dan anak usahanya, unit bisnis itu ke depan juga diharapkan bisa merawat pesawat milik maskapai lain.



GMF Patok Pendapatan US$ 180 Juta

PT Garuda Maintenance Facility (GMF) AeroAsia, anak usaha Garuda Indonesia yang bergerak di bidang perawatan pesawat (maintenance, repair, and overhaul/MRO), menargetkan pendapatan US$ 180 juta tahun 2011, meningkat dibandingkan tahun 2010 sebesar US$ 160 juta.

Direktur Utama GMF AeroAsia Richard Budihadianto mengungkapkan, pendapatan 2010 itu meleset 20% dari target US$ 180 juta karena belum pulihnya bisnis penerbangan yang berdampak pada kurang kondusifnya bisnis MRO. Dalam kondisi itu, banyak maskapai yang menunda perawatan pesawatnya.

"Mulai tahun ini kami yakin bisnis MRO pulih, sehingga kami pasang target US$ 180 juta dengan laba bersih Rp 70 miliar. Tahun 2010 (anaudited) pendapatan hanya Rp 160 juta dengan laba bersih Rp 20 miliar," kata dia, di Jakarta, Rabu (5/1).

Richard menjelaskan, untuk mencapai target itu, perseroan tengah melakukan negosiasi dengan maskapai asal Eropa, Timur Tengah, Asia, dan Afrika Selatan, guna menjajaki kerjasama perawatan pesawat. Perseroan melanjutkan kerjasama kontrak jangka panjang dengan maskapai asing lainnya dan maskapai nasional, seperti Sriwijaya Air, Lion Air, Indonesia AirAsia, dan Travira Air.

"Kami membidik kontrak jangka panjang dengan masa kontrak di atas tiga tahun. Kini, 70% pendapatan kami masih dari pesawat-pesawat Garuda Indonesia dan anak usaha," kata dia.

GMF AeroAsia menguasai 70% nilai kapitalisasi pasar bisnis MRO di Tanah Air. Dari angka itu, 70% di antaranya berasal dari pesawat-pesawat maskapai nasional.
(ari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar