Minggu, 05 Juni 2011

Dimuat 19 Mei 2011

Industri Pesawat Nasional Diabaikan

JAKARTA -- Kecelakaan pesawat MA-60 milik PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) di Teluk Kaimana, Papua Barat, Sabtu (7/5), menjadi bukti ketidakberpihakan pemerintah terhadap industri pesawat terbang nasional.

Padahal, Indonesia memiliki PT Dirgantara Indonesia (dulu PT Industri Pesawat Terbang Nusantara/IPTN) yang mampu memproduksi pesawat jenis Cessna CN-235, namun pemerintah justru mengadakan pesawat MA-60 dari Xian Aircraft Tiongkok.

Mantan Dirut IPTN Hari Laksono menyatakan, sebenarnya MNA telah menggunakan pesawat CN-235 produksi IPTN. Namun, ketika MNA membutuhkan pesawat dengan kapasitas 50 kursi pada periode 2005-an, pemerintah atau MNA justru tidak mengambil lagi pesawat CN-235 produksi IPTN.

Akibatnya, proyek IPTN berupa pesawat CN-250 yang berkapasitas 50 kursi tidak dilanjutkan dengan produksi komersial. Dengan alasan itu, MNA kemudian berpaling dengan membeli pesawat MA-60 buatan Tiongkok. “Padahal, dari segi harga sama saja. Ketika itu harga CN-235 sekitar US$ 11 juta. Sekarang pesawat MA-60 harganya juga segitu,” ungkap Hari dalam diskusi Kasus Merpati MA-60, Nasionalisme dan Industri Perubahan yang digelar Rumah Perubahan 20, di Jakarta, Rabu (18/5).

Menurut Hari, jika dilihat dari sisi keamanan penerbangan internasional, CN-235 lebih unggul karena memiliki sertifikat Otoritas Penerbangan Sipil Amerika Serikat (FAA) dan otoritas penerbangan Eropa (EASA). “Ketika itu bagaimana kami bisa produksi, karena dimana pun pabrik pesawat baru akan produksi bila ada pesanan, ada downpayment,” kata dia.

Hari Laksono mengatakan, pesawat MA-60 yang jatuh di Kaimana hanya mengangkut 27 orang. Jumlah penumpang sebanyak itu adalah terbanyak untuk penerbangan lintas Papua. Artinya, sebenarnya MNA bisa memakai CN-235 yang berkapasitas 35 kursi ketimbang menggunakan MA-60 yang berkapasitas 56 orang namun tidak terisi penuh.

Menurut Hari, bukti lain bahwa keberpihakan terhadap industri penerbangan nasional sangat minim, yakni ketika Lion Air memesan 178 unit Boeing 737-900ER. Dalam proyek ini, industri pesawat terbang nasional tidak mendapat kompensasi apa-apa. Padahal, di negara-negara lain, ketika suatu negara memesan pesawat dari pabrikan negara tertentu maka ada kompensasi yang harus dibayar negara tertentu itu kepada industri sejenis di negara pembeli.

Hari mencontohkan, Pemerintah Tiongkok dan India mewajibkan 30% dari nilai pembelian atas pesawat ke sejumlah negara digarap oleh pabrikan di dalam negeri pihak pembeli. “Untuk kasus B737-900ER milik Lion Air, misalnya, tak muluk-muluk cukup 5% saja dari total nilai pembelian, maka dalam perhitungan kasar uang senilai US$ 1,75 miliar akan kembali ke Indnesia,” ujar dia.

Hari menduga banyak kelemahan dalam proses pengadaan MA-60 yang akhirnya bisa menimbulkan pertanyaan banyak orang. Pertama, pesawat MA-60 tidak dilengkapi sertifikasi FAA, padahal semua jenis pesawat lain yang beroperasi di Indonesia punya sertifikat FAA. Kedua, jika satu pesawat mengalami kecelakaan, pabrikan pesawat akan melakukan grounded atas pesawat buatannya di seluruh dunia atau menerbitkan service bulletin untuk panduan perbaikan, kenyataan yang berbeda terjadi pada MA-60.

Jadi Anak Tiri
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Hanura, Akbar Faisal, mengungkapkan, DPR sedang mendorong dibentuknya Pansus Kecelakaan dan Pengadaan MA-60 milik MNA. Pansus diperlukan untuk menginvetigasi tentang penyebab dan siapa saja aktor dalam proses pengadaan pesawat MA-60. Itu diperlukan agar kejadian serupa tidak berulang lagi.

Untuk membentuk Pansus tersebut, diperlukan sedikitnya tandatangan 25 anggota DPR yang kemudian diajukan dalam sidang paripurna DPR. “Kasus itu memang harus dibuka. Pemerintah harus menjelaskan ke publik agar publik tidak terus bertanya dan ke depan kejadian serupa tidak terulang lagi. Hal itu penting bagi pengelolaan negara secara benar,” ujar dia.

Akbar mengakui, persoalan pengadaan Ma-60 begitu kompleks, mulai dari persoalan teknis hingga nonteknis. “Misalnya, MNA ternyata telah membeli peralatan untuk membaca kotak hitam FDR (flight data recorder), tapi ternyata tak kompatibel dengan pesawat, sehingga itu doubel cost,” ungkap dia.

Menurut Akbar, sangat aneh bila tiba-tiba pemerintah harus membayar US$ 14,7 juta per pesawat MA-60 kepada Bank of China. Padahal, disebutkan sebelumnya pembelian pesawat MA-60 hanya US$ 11 juta.

Di sisi lain, ungkap Akbar, MNA kini cenderung dianaktirikan dibanding Garuda Indonesia yang sama-sama BUMN. Jika Garuda terus disuntik pendanaan oleh pemerintah, seharusnya itu berlaku pula untuk MNA jika ingin mempertahankan maskapai perintis ini.

“Makanya, kenapa MNA tidak diakuisisi saja oleh Garuda, biar tidak ada anak tiri di maskapai penerbangan BUMN. Atau, MNA suruh saja melayani rute-rute di Indonesia timur yang selama ini tidak dilayani Garuda. Selama ini MNA sangat berperan di wilayah Indonesia timur,” ujar Akbar.(ari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar